Mengoptimalkan desa nelayan kecil ke Semenanjung Shandong

admin

Mengoptimalkan desa nelayan kecil ke Semenanjung Shandong

Beijing – Dari jauh, jejeran rumah kecil dengan dinding batu warna abu-abu juga atap yang ditimbun dengan helaian daun kering warna cokelat tua tampak mencolok.

Disebut mencolok lantaran biasanya rumah-rumah ke perdesaan dalam China berbentuk kotak. Kalaupun memiliki atap miring, maka atap yang disebutkan menggunakan genteng kemudian temboknya dari batu bata, tidak batu biasa.

Apalagi ketika mendekat, atap pada rumah-rumah yang disebutkan bukanlah dari jerami kering, melainkan rumput laut kering yang digunakan disusun sedemikian rupa, kemudian ditumpuk serta dijadikan atap oleh warga.

Rumah beratap rumput laut kering yang tersebut diubah berubah menjadi homestay di Desa Linjialiu, Daerah Perkotaan Rongcheng, Provinsi Shandong, China. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Pemandangan rumah kecil nan unik, namun rapi, itu berjejer pada Desa Linjialiu, Perkotaan Rongcheng, ujung timur Semenanjung Shandong, Provinsi Shandong, China.

Rumput laut yang digunakan kering seiring waktu memadat juga mengeras, sehingga tahan air, kuat dan juga dapat diinjak.

Bentuk atap segitiga juga memudahkan air dan juga salju mengalir dan juga memberikan ruang loteng atau langit-langit untuk memungkinkan ventilasi yang tersebut lebih banyak baik. Rumah pun permanen terasa dingin meskipun berada di area pantai yang tersebut ketika musim panas lumayan gerah.

Pekarangan homestay beratap rumput laut kering pada Desa Linjialiu, Perkotaan Rongcheng, Provinsi Shandong, China. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Rumah-rumah itu berada pada desa wisata Linjialiu, Pusat Kota Rongcheng, Kota Weihai, Provinsi Shandong, yang digunakan cuma berjarak sekitar 94 mil laut dari Semenanjung Korea. Desa itu sendiri merupakan desa tua yang sudah ada ada sejak 1930-an.

Sebagai tempat pesisir yang kerap dikunjungi pendatang, Daerah Weihai pernah didukui oleh Negeri Sakura pada 1895-1898. Selanjutnya pada 1898-1930 Weihai disewakan ke Inggris, berdasarkan perjanjian sewa dengan kekaisaran China dengan Port Edward sebagai ibu kotanya (sekarang Distrik Huancui).

Pada 1938-1945, wilayah yang dimaksud diduduki oleh Jepang. Pusat Kota itu diberi nama "Weihaiwei", yang tersebut berarti "benteng ke tepi pantai" sebagai indikasi sejarah militer kota tersebut.

Rumah rumput laut

Baca Juga :  Staf Yahudi pemerintahan Biden mundur, berunjuk rasa kebijakan Amerika Serikat untuk Kawasan Gaza

Kesan rapi juga bersih di dalam perumahan "rumput laut" ke Desa Linjialiu memang sebenarnya dikarenakan desa yang dimaksud diantaranya salah satu desa yang ditata untuk menjadi kawasan wisata oleh pemerintah provinsi setempat.

Terdapat 144 rumah yang tersebut berubah menjadi homestay dalam desa tersebut, namun rumah lain masih ditempati oleh penduduk setempat, –sebagian besar adalah warga usia lanjut yang digunakan bekerja sebagai petani serta nelayan.

Di sekitar desa, ada ladang gandum, kebun jagung, maupun kebun sayur-sayuran yang dimaksud memberikan suasana country side, walau desa itu terletak ke dekat pantai.

Kamar di dalam masing-masing homestay bervariasi, ada satu juga dua tempat tidur dengan prasarana lengkap, seperti sofa, televisi, AC, wifi, shower, toilet, maupun kelengkapan lainnya.

Bagian di homestay rumah beratap rumput laut kering dalam Desa Linjialiu, Daerah Perkotaan Rongcheng, Provinsi Shandong, China. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Hal yang paling mencolok adalah halaman luas di dalam depan kamar yang tersebut penuh bunga, sehingga menyuguhkan kesan hommie, sekaligus artistik bagi pengunjung.

"Saat kecil saya pernah menginap di rumah kakek juga nenek yang digunakan rumahnya juga beratap rumput laut seperti ini, saya masih ingat paman-paman saya sanggup naik ke atap bila ada rumput laut yang rusak," kata penerjemah Zhang Yue, ketika bertemu ANTARA di Desa Linjialiu pada Rabu (5/6).

Hanya saja, kata Zhang Yue, ketika ini sebagian besar warga pada Rongcheng sudah ada pindah ke rumah "normal" tanpa atap rumput laut dikarenakan penyelenggaraan rumah biasa lebih lanjut cepat lalu efisien jika dibandingkan rumah masa setelah itu itu.

Rumah dengan atap rumput laut sendiri memberikan kehangatan pada musim dingin lalu sejuk ke musim panas juga bukan membusuk, meskipun hingga sekitar seratus tahun.

Rumah beratap rumput laut kering yang mana berubah menjadi homestay kemudian rumah biasa berdampingan di Desa Linjialiu, Perkotaan Rongcheng, Provinsi Shandong, China. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Pengelola homestay Rongcheng Yunqi, Ma Xuwen, menjelaskan datang ke Desa Linjialiu pada 2017 dari Shanghai untuk mencari rumah leluhur mereka. Rumah beratap rumput laut pun mendebarkan perhatiannya dan juga ingin menjadikan rumah yang disebutkan sebagai homestay.

Niat Ma juga didukung oleh komite desa, ketika itu, sehingga pemerintah setempat membantu merenovasi rumah lama leluhurnya juga Ma pun mengatur homestay yang digunakan ketika ini tumbuh berubah menjadi 17 rumah. Belasan rumah itu dijadikan akomodasi bagi para turis sekaligus melestarikan budaya setempat.

Baca Juga :  Rusia: Dalang serangan Crocus ingin rusak hubungan negara CIS

Selama berada pada Desa Linjialiu, pengunjung juga dapat melakukan beberapa aktivitas menantang dalam laut, selain bersantai pada di rumah

Budi daya juga wisata

Salah satu kegiatan wisata yang tersebut dapat dijalankan adalah datang ke budi daya kerang, abalon, cumi-cumi, dan juga ikan pada lepas pantai.

ANTARA dengan jurnalis kemudian "vlogger" berkesempatan untuk datang ke "Sanggouwan Marine Ranch" atau tambak Teluk Sanggou yang tersebut dapat didatangi dengan perahu mesin dari tepi pantai selama 15 menit.

Teluk Sanggou sendiri terletak di pesisir Laut Kuning lalu ujung paling timur Semenanjung Shandong, dengan total panjang 82,6 kilometer.

Sebelum tiba dalam tambak tersebut, pengunjung dapat memberi makan burung camar yang tersebut sejumlah berada dalam pantai.

Caranya, pengelola memberikan potongan sosis terhadap para pengunjung kemudian pengunjung harus memecah sosis yang dimaksud ke potongan-potongan kecil kemudian melemparkannya ke arah burung camar.

Burung camar terbang rendah pada samping kapal untuk mendapatkan makanan dari turis di lepas pantai Teluk Sanggou, Daerah Perkotaan Rongcheng, Provinsi Shandong, China. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

"Jangan mencoba untuk memberikan sosis dengan segera dari tangan Anda terhadap burung-burung camar," kata seseorang pemandu, memberi peringatan.

Selama 15 menit perjalanan turis pun sibuk untuk memecah sosis lalu kemudian melemparkannya untuk camar-camar yang digunakan terbang rendah di dalam kiri-kanan perahu. Suara camar yang mana riuh beradu dengan cipratan air pada waktu badan perahu maupun badan camar mengambil sosis dari permukaan air memberikan pengalaman yang mana tidaklah dapat dilupakan.

Mendekati lokasi, telah muncul rangkaian boya atau pelampung warna-warni sebagai rambu tak lama kemudian lintas pelayaran pada laut.

Baca Juga :  Rusia kirim dua pesawat juga grup pengungsian bantu pencarian Presiden Iran
Tambak ke Teluk Sanggou, Daerah Perkotaan Rongcheng, Provinsi Shandong, China. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Di tambak tersebut, terbagi kavling-kavling untuk budi daya item perikanan laut yang mana berbeda, mulai dari teripang (timun laut), bintang laut, babi laut, kerang, abalon, ikan buntal, kepiting, maupun jenis lainnya.

"Kunci agar panen bagus adalah menjaga suhu air, suhu air tidaklah boleh terlalu lebih tinggi atau terlalu rendah agar merekan bertambah normal juga berprogres biak," kata pengelola tambak Sanggouwan Liu Xue Ren dengan luas 20,23 kilometer persegi.

Pada 2023, pendapatan Kota Weihai dari sektor pertanian, kehutanan, peternakan, serta perikanan mencapai 16,9 miliar yuan atau Rp37,8 triliun.

Namun menurut Liu, tambak miliknya kecil dibandingkan tambak sejenis ke tempat lain, seperti Dalian, Liaoning, juga Fujian.

"Sekarang sebenarnya lebih besar mengupayakan wisata sebab turis yang tersebut datang dapat mencoba mengambil kerang hingga memakan kerang itu di restoran yang ada ke tambak," ucap Liu.
 

 

Panen abalon di dalam tambak Teluk Sanggou, Perkotaan Rongcheng, Provinsi Shandong, China. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

ANTARA diberi kesempatan memegang segera teripang, bintang laut, babi laut, hingga ikan buntal yang dimaksud mengembangkan diri pada waktu perutnya ditepuk-tepuk.

Pengunjung juga dapat menantang jala berisi kerang serta abalon untuk segera dimasak pada restoran terapung di kawasan tambak tersebut.

"Pilih abalon yang dimaksud berat sebab itu sudah ada ada isinya," kata pribadi petugas.

Dengan berjongkok pada berada dalam "goyangan" arus laut, sensasi mengambil abalon adalah pengalaman yang dimaksud lumayan menyenangkan.

Memegang ikan buntal pada tambak Teluk Sanggou, Perkotaan Rongcheng, Provinsi Shandong, China. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Setelah puas mengambil abalon, pengunjung dapat mencicipi abalon rebus belaka di beberapa menit, sangat menyegarkan.

Kota Weihai, khususnya Daerah Perkotaan Rongcheng, menawarkan perpaduan hidup perdesaan serta budi daya binatang laut yang dimaksud dibungkus dengan pengalaman mengambil hasil laut secara langsung, sekaligus menikmati jamuan makan produk-produk laut yang dimaksud segar.
 

Artikel ini disadur dari Mengoptimalkan desa nelayan kecil di Semenanjung Shandong

Baca Juga

Bagikan:

Tinggalkan komentar