DKI Jakarta –
Menurut dua, di dalam Amerika Serikat dan juga bumi Barat, esport tidak ada hanya sekali sarana mencari prestasi, tapi telah masuk ranah entertainment.
"Pengembangan dalam sana tiada lagi terus-menerus tentang terkait hal teknis atau kemampuan bermain, tetapi merekan justru sekarang pengembangan soft skill bagi para pemainnya," kata Robertus usai bermetamorfosis menjadi pembicara di Scholastic & Academic Esports Bootcamp di dalam DKI Jakarta pada Selasa.
Dia memohonkan penggawa profesional pada Tanah Air tak mampu lagi cuma fokus mengembangkan permainan, tapi juga kemampuan lain seperti berinteraksi sehingga bisa jadi mendapatkan ganjaran lebih lanjut dari yang digunakan dikerjakan selama ini.
"Itu yang dimaksud menghasilkan para pemain di dalam sana banyak label brand yang digunakan sudah ada menempel ke dirinya, ini berbeda jarak jauh dengan di Indonesia," kata dia.
Menurut Robertus, hambatan lain di mengembangkan ekosistem esport ke Indonesia dalah peraturan di kontrak yang dimaksud kerap berbenturan dengan aturan negara.
Kondisi itu merugikan para pemain pada negeri. Peraturan kontrak yang dimaksud dipermudah mampu menciptakan pemain mengembangkan diri, karir, soft skill, pengalaman, dan juga pengembangan karir dalam ranah yang berbeda, kata Robertus.
Dua menghadirkan semua pihak sama-sama mengembangkan esport Indonesia supaya sistem ekologi diciptakan sehingga berdampak panjang terhadap karir pemain serta pemangku kepentingan.
Scholastic & Academic Esports Bootcamp adalah kerja serupa antara Akademi Garudaku, Network of Academy and Scholastic Esports Federations (NASEF), serta Kedutaan Besar Amerika Serikat ke Indonesia.
Para partisipan cxara ini yang mencapai seratusan mendapatkan materi dari sebagian praktisi kemudian ahli esport, seperti player development specialist NASEF/USEF Bethany Pyles, Global Senior Vice President & Pendiri at UniPin Debora Immanuela, serta Chair of the IESF Equity Committee Diana Tjong.
Artikel ini disadur dari Indonesia diminta belajar banyak bentuk ekosistem esport